Social Entrepreneurship: Ruang Pemuda Memandirikan Bangsa

Kemandirian merupakan perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam konteks kebangsaan, bangsa yang mandiri artinya bangsa yang mampu berdiri di atas kekuatan sendiri dengan segala sumber daya yang dimiliki, mampu memecahkan persoalan yang dihadapi dan mampu mengembangkan inovasi dan riset di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang akhirnya memiliki keunggulan dan daya saing (Barnadib, 2008). Membangun kemandirian bangsa berarti memahami proses kemandirian sebagai suatu usaha membangun bangsa yang mampu menyelesaikan setiap masalah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan bermartabat (Hary, 2008).

Faktanya, Indonesia belum menjadi negara yang mandiri karena masih belum memenuhi indikator bangsa yang mandiri, terutama di bidang ekonomi. Indikator tersebut berupa indikator pangan, energi, keuangan, infrastruktur, dan harkat martabat. Dari segi pangan, Indonesia belum mencapai swasembada pangan sehingga kebutuhannya harus dipenuhi dengan melakukan impor dari Negara lain. Di bidang energi, kekayaan alam yang banyak terkandung di bumi ini justru dikuasai oleh asing. Di bidang keuangan, nilai tukar rupiah bergantung pada nilai uang negara asing. Demikian pula dengan bidang infrastruktur, sehingga hal ini menjadikan harkat martabat Indonesia merosot di hadapan  dunia internasional (Gusman, 2012).  

Jika Indonesia masih ingin menjadi negara yang mandiri terutama di bidang ekonomi, penyelesaiakan masalah harus dilakukan bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh semua elemen masyarakat. Memang sistem globalisasi yang terjadi saat ini tidak bisa terlepas dari kapitalisme yang hanya memberikan kemakmuran pada segelintir orang. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah menumbuhkan kembali semangat ekonomi kerakyatan yang dahulu pernah dilakukan. Semangat ekonomi kerakyatan adalah sistem yang baik karena sistem ini dilandasi pada distribusi keadilan baru kemudian kemakmuran, bukan sebaliknya. Distribusi sumber-sumber ekonomi yang merata akan menciptakan pendapatan yang merata pula sehingga akan tercipta kemakmuran.

Sebagian besar jumlah penduduk Indonesia masih berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern, sehingga mayoritas pelaku ekonomi di Indonesia adalah Usaha Kecil dan Menengah (Rosid, 2011). Pada Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998, pengertian usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan yang tidak sehat. Saat ini nampaknya usaha pemerintah pada UKM dan rakyat kecil sudah terlihat pada program-program yang bersifat pemberdayaan masyarakat. Bank-bank juga sudah ada yang mengucurkan kredit tanpa agunan. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) berupaya memperluas partisipasi masyarakat dalam kepemilikan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan salah satu caranya berupa menurunkan suku bunga Kredit Usaha Rakyat. Pemerintah telah menurunkan suku bunga KUR Mikro dari 24% efektif pertahun menjadi 22%, sedangkan suku bunga KUR Rhel dari 14% efektif per tahun menjadi 13% (Kementerian Koperasi dan UKM, 2012).

Untuk mempercepat peningkatan kemandirian masyarakat terutama di bidang ekonomi, pemerintah perlu bersinergi dan bekerjasama dengan elemen masyarakat, dalam hal ini terutama pemuda karena seperti yang diketahui bersama bahwa pemuda adalah agen perubahan bangsa dan generasi penerus. Oleh karena itu, penting pula pemerintah lebih bermitra dengan pemuda. Tetapi, selain pemerintah perlu bersinergi dan lebih melibatkan pemuda, dari dalam diri pemuda sendiri perlu lebih peka terhadap permasalahan masyarakat juga berinisiatif dan berinovasi dalam memberdayakan masyarakat.

Saat ini bidang pemberdayaan masyarakat yang sudah mulai diminati pengusaha muda   adalah program kewirausahaan sosial (sosial entrepreneurship). Social entrepreneur adalah orang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship  untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan kesehatan (Santoso, 2007). Menurut Gregory Dees (2009) kewirausaan sosial merupakan kombinasi dari semangat besar dan misi sosial dengan disiplin, inovasi, dan keteguhan seperti yang ada dalam dunia bisnis. Kewirausahaan sosial meliputi aktifitas yang tidak bertujuan mencari laba, kalaupun mencari laba maka laba yang diberoleh adalah tetap untuk tujuan sosial, atau kombinasi diantara keduanya. Contoh kewirausahaan sosial yang menginspirasi para pemuda salah satunya adalah program yang digagas oleh Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank yang memberikan kredit usaha mikro khusus bagi kaum perempuan di Bangladesh. selain itu, kewirausahaan sosial berkembang pesat pula di Inggris saat ini. Kewirausahaan sosial tersebut telah melibatkan 650.000 orang dan 89 % berbasis di perkotaan. Kegiatan bisnis yang dilakukan mengambil porsi 5 % di tingkat nasional. Telah dilakukan sekitar 170.000 kegiatan amal antara lain baik melalui dukungan pemerintah dan sektor wisata. Contohnya Kibble Centre yang pada awalnya adalah murni gerakan sosial, tetapi sejak 1996 mereka memutuskan menjadi wirausaha sosial.

Di Indonesia sendiri, kewirausahaan sosial lebih banyak digerakan oleh komunitas ataupun perkumpulan masyarakat yang bersama-sama membentuk unit usaha untuk memperbaiki kondisi sosial ataupun lingkungan sekitarnya. Kewirausahaan sosial di Indonesia mempunyai banyak peluang untuk berkembang sehingga upaya untuk mewujudkan hal tersebut pun harus terus dilakukan. Mengacu pada karakteristik kewirausahaan sosial di Indonesia yang banyak dimotori oleh komunitas, wirausaha sosial melihat masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar. Dengan permasalahan sosial nan kompleks di negara kita ini, seperti kemiskinan dan pengangguran, lahirnya para wirausaha sosial diharapkan menjadi agen perubahan yang ikut memberikan kontribusi solusi. Perekonomian negara akan bergerak dinamis jika minimal 2 % dari total penduduk, khususnya kalangan pemuda menjadi wirausaha. Jika jumlah penduduk kita asumsikan pada kisaran 250 juta, semestinya tumbuh 5 juta wirausaha muda (Hary, 2011). Kenyataannya saat ini baru ada sekitar 400.000 wirausaha muda atau dengan kata lain hanya 0,16 % dari jumlah penduduk. Oleh karena itu, perlu strategi lebih matang jika wacana kewirausahaan sosial sebagai solusi meningkatkan kemandirian bangsa ingin terus dikembangkan.

Jika kewirausahaan murni mengukur keberhasilan dari kinerja keuangannya, yaitu keuntungan dan pendapatan, maka kewirausahaan sosial keberhasilannya diukur dari manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Sosial entrepreneur sesungguhnya adalah agen perubahan yang mampu untuk melaksanakan cita-cita mengubah dan memperbaiki nilai-nilai sosial, mengenali berbagai peluang untuk melakukan perbaikan, selalu melibatkan diri dalam proses inovasi, adaptasi, dan pembelajaran yang terus menerus, bertindak tanpa menghiraukan berbagai hambatan atau keterbatasan yang dihadapinya, dan memiliki akuntabilitas dalam mempertanggungjawabkan hasil yang dicapainya kepada masyarakat. Akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran makna kewirausahaan sosial yang semula dianggap hanya kegiatan “non-profit” menjadi kegiatan yang berorientasi bisnis. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia bisnis untuk ikut serta dalam kegiatan kewirausahaan sosial karena ternyata dapat menghasilkan keuntungan finansial. Social etrepreneurship makin berperan dalam pembangunan ekonomi karena ternyata mampu memberikan daya cipta nilai-nilai sosial maupun ekonomi, antara lain menciptakan kesempatan kerja, melakukan inovasi dan kreasi baru terhadap produksi barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat, menjadi modal sosial, dan peningkatan kesetaraan.

Salah satu tujuan pembangunan ekonomi adalah terwujudnya kesetaraan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat, dan melalui social entrepreneurship lah tujuan tersebut akan dapat diwujudkan karena para pelaku bisnis yang semula hanya memikirkan pencapaian keuntungan yang maksimal selanjutnya akan tergerak pula untuk memikirkan pemerataan pendapatan agar dapat dilakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Berbagai inovasi terhadap jasa kemasyarakatan yang selama ini tidak tertangani oleh pemerintah dapat dilakukan oleh kelompok kewirausahaan sosial. Meskipun kewirausahaan sosial ini bukan satu-satunya solusi untuk meningkatkan kemandirian perekonomian bangsa, namun perlu bahkan harus ada keberanian untuk memulai membentuk perubahan melalui upaya tersebut.

Kembali ke peran pemuda dalam memandirikan bangsa, keterlibatan pemuda misalnya para pengusaha muda dalam kegiatan kewirausahaan sosial ini adalah solusi segar dalam memberdayakan dan memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat. Pengusaha pengusaha muda harus dilahirkan dan dilahirkan secara berkelanjutan agar terjadi pula regenerasi pengusaha di Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah setiap pemuda Indonesia siap dan mampu menjadi generasi yang ikut terlibat aktif dalam upaya kewirausahaan sosial ini. karena biar bagaimana pun pertumbuhan jumlah wirausahawan harus didukung oleh tingkat pengetahuan atau pendidikan yang baik. Pendidikan penting untuk memberi modal dasar bagi para wirausahawan muda ini. Salah satunya melalui jalur pendidikan lah pola pikir seseorang dapat diubah dan ditingkatkan ide dan kreativitasnya.

Peran lembaga pendidikan, misalnya perguruan tinggi dalam hal ini dapat menjadi jembatan para pemuda Indonesia untuk berkontribusi dalam upaya ini. perguruan tinggi dapat memotivasi para mahasiswanya menjadi young entrepreneur, yang merupakan bagian dari salah satu faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan. Dengan meningkatnya wirausahawan dari kalangan mahasiswa atau sarjana akan mengurangi pengangguran  serta menambah jumlah lapangan pekerjaan. Karena bukan saatnya lagi pemuda mencari pekerjaan yang kondisinya saat ini sudah carut marut dan banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur.

Lalu, bagaimana dengan pemuda-pemuda Indonesia yang tidak atau belum memiliki kesempatan mengenyam pendidikan tinggi? Sampai saat ini, menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, pemuda yang telah mengenyam pendidikan khususnya di perguruan tinggi baru sekitar 27 % dari total jumlah pemuda Indonesia. Hal ini pula perlu dipertimbangkan pula bagaimana pemuda yang belum berkesempatan mengenyam pendidikan ikut berkontribusi dalam membangun kemandirian masyarakat, bila perlu malah membuat lapangan pekerjaan sendiri.  Masalah ini dapat terselesaikan salah satu caranya dengan memotivasi terus pemuda Indonesia yang ‘beruntung’ untuk menularkan misi kebermanfaatan ini pada pemuda-pemuda sekitar masyarakat. Misalnya, dicanangkan pada seluruh bidang pengabdian masyarakat di organisasi intra kampus untuk membuat program pemberdayaan tidak hanya yang berorientasi sosial, tetapi mengarah pada bentuk kewirausahaan sosial, dengan sebelumnya melakukan pengkajian yang tepat mengenai sasaran komunitas masyarakat yang akan diberdayakan. Dalam hal ini, pemuda atau mahasiswa yang bukan berasal dari rumpun ekonomi pun dapat belajar banyak hal terkait kewirausahaan sosial. Dengan demikian secara tidak langsung dapat melahirkan bibit baru aktor kewirausahaan sosial.

Kemudian, komunitas yang telah menjadi sasaran program pemberdayaan tersebut dilibatkan secara aktif, disadarkan bahwa seluruh elemen masyarakat yang ada di dalamnya harus bangkit jika ingin meningkatkan kemandirian ekonomi. Dalam hal ini, penulis tidak berbicara mengenai langkah pengambilan kebijakan atau proyek-proyek besar pemerintah, tetapi yang penulis tekankan di sini adalah pemuda dapat berperan dalam kemandirian bangsa melalui kegiatan yang langsung bersentuhan atau berinteraksi dengan masyarakat. Para wirausahawan muda atau mahasiswa yang terlibat dalam program ini dapat ‘membidik’ atau melibatkan secara lebih aktif pemuda-pemuda dalam komunitas tersebut untuk menjadi aktor penggerak atau tim inti dari program kewirausahaan sosial ini. Dengan demikian, meskipun mereka tidak secara formal memahami kewirausahaan sosial, pemuda-pemuda dalam komunitas tersebut bisa ikut berkontribusi untuk meningkatkan kemandirian masyarakat/ komunitasnya dengan keterlibatannya yang aktif dalam program social entrepreneurship.

 

Syarifah Lubbna, FIK UI 2009

@Asrama Aceh, 23 Oktober 2012

 

 

 

Leave a comment