Tawuran: Akibat Sistem Masyarakat yang “Memakan” Anak-anaknya

Your beliefs become your thoughts…

Your thoughts become your words…

Your words become your habits…

Your habits become your values…

Your values become your destiny. (Mahatma Gandhi)

 

Kata bijak seorang Mahatma Gandhi di atas memang benar adanya, disadari atau tidak sering kali apa yang kita pikirkan akan menentukan apa yang akan kita lakukan. Hal ini sebenarnya terjadi pula pada remaja-remaja Indonesia yang memiliki jalan tawuran dalam penyelesaian masalahnya dibandingkan jalan-jalan penyelesaian yang lebih positif. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, telah terjadi 128 kasus tawuran pada tahun 2010, disusul terjadinya 339 kasus dengan 82 korban tewas pada tahun 2011, dan di wilayah jabodetabek sampai September 2012 tecatat 103 kasus tawuran dengan 48 luka ringan, 39 luka berat, dan 17 siswa meninggal. Maraknya kasus tawuran yang cenderung meningkat tiap tahunnya merupakan fenomena gunung es yang tak kunjung terselesaikan, dan semua secara tidak langsung berawal dari rendahnya kualitas pola pikir.

Mungkin bisa dikatakan wajar kalau kalangan yang ‘tertarik’ dengan tawuran adalah kalangan remaja. Hal ini dikarenakan memang fitrahnya tugas pertumbuhan dan perkembangan anak usia remaja adalah mencari jati diri, lebih tertarik pada kelompok (cenderung mencari gank), menyesuaikan diri dengan standar kelompok, stres meningkat terutama saat terjadi konflik, dan takut ditolak oleh teman sebaya (Wong, 2001). Selain itu, teori perkembangan psikososial menyatakan bahwa tahap usia remaja termasuk ke dalam tahap “Identity vs identify confusion” dimana remaja dihadapkan dengan pencarian jati diri, dan merasakan identitasnya sendiri bahwa ia adalah individu yang unik. Ia mencari teladan (role model) yang bisa dicontoh agar bisa menyesuaikan perannya ketika menjadi dewasa. Oleh karena itu, dapat dikatakan fase remaja ini sangat labil, karena terjadi peralihan dari anak-anak menjadi dewasa (Ericson, 1989).

Faktanya, remaja saat ini hampir setiap hari terpapar dengan banyaknya pemberitaan kasus korupsi, kekerasan, sinetron-sinetron yang memperlihatkan ‘orang baik itu lemah, dan orang jahat itu kuat’, pengalaman perpeloncoan murid baru oleh senior, dan lain-lain. Sehingga, remaja mengalami krisis keteladanan dari sistem masyarakat. Remaja yang notabene sedang mencari role model akan terkontaminasi dengan paparan buruk tersebut. Selain itu, minimnya durasi pembelajaran pendidikan moral keagamaan di sekolah, yang hanya 2×45 menit dalam seminggu juga berkontribusi di sini. Ironisnya, pendidikan moral dan agama mendapat tempat yang tidak proporsional dan terlampau sedikit, hanya formalitas tanpa mengarah ke pembentukan karakter, sehingga penanaman pendidikan karakter remaja di sekolah sangat lemah. Padahal karakter calon generasi masa depan harusnya dipupuk sejak dini.

Selain faktor pemicu di atas, adapun faktor pencetus tawuran remaja adalah ketersinggungan salah satu anggota gank yang memicu rasa kesetiakawanan yang berlebihan, permasalahan/ permusuhan yang memang sudah mengakar antara dua pihak atau lebih, dan adanya jiwa premanisme yang dimiliki remaja akibat krisis teladan di lingkungannya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan karater seorang pelajar yang seharusnya mengedepankan kecerdasan berpikir dan pengelolaan emosi. Kondisi ini juga membuat individu malas untuk menyelesaikan masalahnya sendiri karena terlena dengan kekuatan kelompok. Oleh karena itu, mungkin sudah terlambat jika kita saling menyalahkan satu sama lain siapa yang bersalah atas maraknya fenomena tawuran saat ini, karena tidak ada kesalahan tunggal. Semua peran ikut bertanggung jawab untuk menyelesaikan fenomena ini, tidak hanya pemerintah, kementerian pendidikan dan kebudayaan, dan kemenpora tetapi juga pihak sekolah, guru, orang tua, bahkan sistem masyarakat pun perlu berkomitmen dan ambil bagian.

Masalah utama yang dikemukakan sebelumnya adalah masih rendahnya kualitas berpikir akibat paparan-paparan kurang baik pada remaja yang seharusnya tidak terjadi. Sehingga kualitas berpikir yang rendah mengakibatkan action yang tidak berkualitas pula, seperti maraknya tawuran saat ini. Apalagi penyelesaian masalah saat ini tidak dilakukan dengan gentle dan tangan kosong tetapi telah memakai alat bantu seperti clurit, batu, kayu, senjata tajam, sabuk, pisau, besi, dan alat bantu lainnya yang meresahkan masyarakat. Mengapa demikian? Karena ilmiahnya, otak manusia akan berkembang pesat pada bagian yang sering terstimulasi. Penelitian para ahli menyebutkan bahwa otak manusia terdiri dari tiga tingkatan, yaitu reptilian brain (isntinct), mammalian brain (limbic & hindsight), dan primate brain (neocortex/ foresight/ thinking brain). Pertama, reptilian brain adalah tingkatan terendah otak yang berguna untuk mengatur respon terhadap stimulus tanpa berpikir (refleks).  Kedua, mammalian brain adalah bagian otak yang terdapat pusat neuron-neuron yang mengatur dan berkaitan dengan emosi manusia, seperti cinta, kasih sayang, cemburu, cemas, takut, marah, dan lain-lain. Ketiga, thinking brain adalah tingkatan otak yang membedakan manusia dengan hewan. Tingkatan ke-3 ini berfungsi untuk mengatur berkembangnya fungsi luhur, berpikir, belajar, beradab, akal, kemampuan analisa, pendekatan logis, kreativitas, persepsi, kemampuan menyelesaiakan masalah, dan kemampuan memilah mana yang benar dan mana yang salah (Popper, 1977; Barton, 2000). Bagian otak mana yang sering terstimulus maka bagian otak itulah yang akan berkembang pesat dan banyak berperan bagi hidup manusia.

Lalu, bagaimana kaitannya dengan tawuran? Jelas ada. Jika kita contohkan, banyaknya game online yang temanya tentang fighting atau kemampuan berkelahi/ perang akan hanya menstimulus atau melatih reptilian brain manusia, dimana kemampuan refleks terhadap stimulus dilatih. Kemudian, ddanya pemberitaan kasus pembunuhan, korupsi, bullying di sekolah, atau bermunculannya tayangan, film/ sinetron yang bercerita tentang percintaan dunia SMA, SMP, bahkan SD, membuat penontonnya terstimulus untuk ikut marah, menangis, dan meluapkan emosinya, hanya melatih mammalian brain dimana kemampuan emosional dilatih. Paparan seperti inilah yang menjadi makanan sehari-hari remaja Indonesia saat ini, bukan? Akibatnya wajar ketika remaja berhadapan dengan masalah, ia akan dengan mudahnya tersulut emosi, bertengkar dan berkelahi, tawuran, bahkan sampai saling membunuh karena memang baru tingkatan otak reptilian dan mammalian lah yang sering terstimulus. jika tidak segera diubah, maka pernyataan sistem masyarakat yang ‘memakan’ anak-anaknya menjadi benar adanya.

Lain halnya jika remaja setiap harinya dipaparkan dengan hal-hal yang baik, karena thinking brain akan sering terstimulus sehingga perkembangan remaja akan baik karena memiliki teladan dan paparan yang baik pula. Inilah jalan satu-satunya agar remaja Indonesia menjadi remaja yang berkualitas. Cita-cita ini akan tercapai jika sistem masyarakat dan semua pihak bekerjasama untuk memberikan paparan baik, misalnya pemerintah yang ‘membersihkan’ pejabat dan wakil rakyatnya, media masa yang lebih mengekspos prestasi Indonesia, pihak media televisi yang menyajikan tayangan- tayangan edukatif, dan orang tua serta guru yang memberi teladan baik di rumah, dan peran sekolah membuat sistem pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter, mengedepankan aktivitas positif dan memberi wadah untuk remaja menyalurkan potensinya, dan peran-peran pihak lainnya. Ayo, prestasi YES, tawuran NO!

 

Syarifah lubbna, FIK UI 2009, FPPI 2012

Leave a comment